Tampilkan postingan dengan label HUKUM & KRIMINAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM & KRIMINAL. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Juni 2025

Dugaan Anggaran Mamin Fiktif di Setda Papua Barat: LPI-ASN Desak Kejagung Lakukan Penyelidikan


 JAKARTA, 20 Juni 2025 – Kejaksaan Agung (Kejagung) hari ini secara resmi menerima laporan dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp11.356.479.783,00. Angka ini terkait dengan anggaran Belanja Makanan dan Minuman (Mamin) pada Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat untuk Tahun Anggaran 2023.

Laporan tersebut disampaikan oleh Lembaga Pemantau Integritas Aparatur Sipil Negara (LPI-ASN), yang secara tegas mendesak Kejagung untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh dan tuntas.


EP Diansyah, Koordinator LPI-ASN, menjelaskan bahwa indikasi kuat adanya korupsi ini terungkap dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. LHP tersebut menunjukkan adanya kejanggalan berupa kelebihan pembayaran dan penggunaan bukti pertanggungjawaban yang diduga fiktif. 


"Dokumen pertanggungjawaban dibuat belakangan hanya berdasarkan nota kosong," ungkap Diansyah.


Ia menambahkan, investigasi awal LPI-ASN menemukan bahwa dana yang seharusnya dialokasikan untuk makanan dan minuman justru diakui untuk 'kebutuhan lain' tanpa adanya bukti-bukti sah yang mendukung penggunaan anggaran tersebut.


Praktik ini diduga melibatkan serangkaian kelalaian dan penyalahgunaan wewenang oleh beberapa pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat. Pihak-pihak yang disebut-sebut terlibat mencakup Bendahara Pengeluaran, Kepala Bagian Keuangan (selaku Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Perangkat Daerah atau PPK SKPD), hingga Sekretaris Daerah yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran.


Perbuatan ini diyakini kuat melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, karena secara jelas menyebabkan kerugian keuangan negara dan adanya penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan.


Pasal 2 UU Tipikor mengacu pada perbuatan melawan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 


Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


LPI-ASN mendesak Jaksa Agung untuk secepat mungkin mengambil langkah konkret, termasuk memanggil semua pihak terkait untuk dimintai keterangan, serta mengupayakan pemulihan kerugian keuangan negara secara maksimal.


"Transparansi dan akuntabilitas anggaran adalah mutlak dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dilingkungan Pemerintahan Papua Barat," pungkas Diansyah, menekankan pentingnya penegakan hukum dalam kasus ini. (GM) 

Rabu, 11 Juni 2025

KMPK Desak KPK Selidiki Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bansos TA 2020 di Pegunungan Arfak


JAKARTA, 11 Juni 2025 – Koalisi Masyarakat Penegak Keadilan (KMPK) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyelidiki dugaan korupsi pengelolaan Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak Tahun Anggaran (TA) 2020. KMPK menemukan indikasi kuat penyimpangan sistematis yang berpotensi merugikan negara hingga lebih dari Rp22 miliar.

Koordinator KMPK, Paulinus Siregar, menyatakan keprihatinannya atas temuan ini.


"Kami menduga telah terjadi pola korupsi yang terstruktur, di mana dana hibah dan bansos yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat justru raib tanpa pertanggungjawaban yang jelas," tegasnya dalam konferensi pers.


Dugaan penyimpangan ini terungkap dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Kabupaten Pegunungan Arfak TA 2020 (audited), yang menunjukkan lonjakan fantastis pada alokasi anggaran dan berbagai kejanggalan dalam pelaksanaannya.


KMPK menemukan beberapa kejanggalan utama:


A. Lonjakan Anggaran Mencurigakan dan Rekomendasi BPK yang Diabaikan: Anggaran hibah melonjak 397% pada TA 2020, dari Rp14,7 miliar menjadi Rp73,05 miliar. Belanja bansos juga naik 56%, dari Rp35,88 miliar menjadi Rp56,06 miliar. Paulinus menyoroti bahwa kenaikan ini patut dipertanyakan, apalagi masalah pengelolaan dana ini sudah menjadi sorotan BPK sejak LHP BPK Nomor 27.A/LHP.XIX.MAN/06/2020 tanggal 29 Juni 2020. Rekomendasi BPK tahun 2018 terkait penertiban dan akuntabilitas belum sepenuhnya ditindaklanjuti.


B. Verifikasi Penerima Tidak Memadai dan Dana Mengalir ke Pihak Tak Bertanggung Jawab: Penetapan penerima hibah dan bansos hanya berdasarkan disposisi Bupati tanpa verifikasi kelayakan yang memadai. Bahkan, Rp1,859 miliar dana hibah diduga mengalir ke penerima yang belum mempertanggungjawabkan dana pada tahun anggaran sebelumnya. "Ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP serta Permendagri Nomor 32 Tahun 2011," ujar Paulinus.


C. Penyaluran Dana Tanpa Dasar Hukum dan Melalui Bendahara: Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak diduga menyalurkan dana hibah dan bansos tanpa Peraturan Kepala Daerah terkait Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial serta Keputusan Bupati tentang Penerima Hibah dan Bantuan Sosial. Mekanisme pencairan juga tidak langsung kepada penerima, melainkan melalui bendahara bantuan sosial.


"Modus ini sangat rentan terhadap penyelewengan," papar Paulinus, menyoroti pelanggaran Pasal 102 PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Pasal 14 serta Pasal 32 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011.


Puluhan Miliar Rupiah Dana APBD Diduga Raib. Temuan KMPK menunjukkan total Rp22.116.000.000,00 dana publik diduga bermasalah, terdiri dari:

  • a. Rp11.507.000.000,00 Belanja Bantuan Sosial yang belum dipertanggungjawabkan.
  • b. Rp8.750.000.000,00 Belanja Hibah yang belum dipertanggungjawabkan.
  • c. Rp1.859.000.000,00 Hibah yang disalurkan kepada penerima yang belum mempertanggungjawabkan dana di periode sebelumnya.


"Angka ini sangat fantastis. Bagaimana kita bisa menguji penggunaan dana sebesar itu jika laporan pertanggungjawabannya tidak ada dan ada dana yang mengalir ke pihak yang tidak patuh? Ini mengindikasikan adanya kerugian keuangan negara yang sangat besar," seru Paulinus.


Ia menambahkan, kelemahan monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak menunjukkan kelalaian serius dalam pengawasan penggunaan dana rakyat.


Tuntutan KMPK kepada KPK

KMPK mendesak KPK untuk:


  1. Segera memulai penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak TA 2020.
  2. Memanggil dan memeriksa Mantan Bupati Pegunungan Arfak Tahun 2020, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Keuangan, Bendahara Hibah/Bansos, serta seluruh pihak terkait, termasuk penerima dana yang belum mempertanggungjawabkan alokasinya.
  3. Menindak tegas semua pihak yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ini bukan hanya sekadar maladministrasi, tetapi dugaan tindak pidana korupsi yang sistematis dan merugikan rakyat Pegunungan Arfak. Dalam waktu dekat, kami akan mendatangi Gedung Merah Putih untuk secara langsung melaporkan kepada pimpinan KPK. KPK harus turun tangan segera untuk menyelamatkan keuangan negara dan memberikan keadilan bagi masyarakat," tutup Paulinus.

Minggu, 20 April 2025

FGMI Desak KPK Ambil Alih Penanganan Dugaan Korupsi Dana Hibah PMI Ogan Ilir


Jakarta, 20 April 2025 – Forum Generasi Milenial Indonesia (FGMI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas lambatnya penanganan dugaan korupsi dana hibah Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Ogan Ilir yang menyeret nama istri Bupati Ogan Ilir, Tikha Alamsjah Panca. Proses hukum yang ditangani Kejaksaan Negeri Ogan Ilir dinilai berjalan tanpa progres signifikan dan menimbulkan kesan diskriminatif.

FGMI juga menyoroti adanya anasir kuat yang mengindikasikan potensi mandeknya proses hukum di tengah jalan. Kekhawatiran ini muncul mengingat posisi strategis Ketua PMI Ogan Ilir dijabat oleh Tikha Alamsjah Panca yang merupakan istri Bupati Ogan Ilir, Wakil Ketua dijabat oleh Asisten I Setda Ogan Ilir, Dicky Shailendra, Bendahara dijabat oleh Kepala BPKAD Ogan Ilir, Sholahuddin, dan Sekretaris dijabat oleh Sayadi, yang merupakan Kepala Dinas Pendidikan Ogan Ilir. 

Struktur organisasi PMI Ogan Ilir yang melibatkan pejabat-pejabat kunci di pemerintahan daerah memperkuat dugaan adanya konflik kepentingan dan potensi intervensi kekuasaan dalam penegakan hukum.

Pada tahun anggaran 2023–2024, Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 2 Miliar kepada PMI Kabupaten Ogan Ilir.
Berdasarkan temuan dan pemeriksaan Kejaksaan, muncul dugaan kuat bahwa dana hibah tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya. Bahkan, terdapat indikasi serius penggunaan SPJ (Surat Pertanggungjawaban) fiktif dalam laporan keuangan dana hibah tersebut.

Sejumlah pihak internal PMI, termasuk Sayadi, Sholahuddin, dan Dicky Shailendra, telah dipanggil dan diperiksa berulang kali oleh penyidik Kejaksaan Negeri Ogan Ilir. Sementara itu, Tikha Alamsjah selaku Ketua PMI memang telah dipanggil, namun belum memenuhi panggilan dengan alasan sibuk mendampingi Bupati. Ketidakhadirannya memunculkan pertanyaan besar dan memperkuat dugaan bahwa proses hukum tengah terhambat oleh kekuatan politik yang melindungi pihak-pihak tertentu.

"Lambatnya penanganan kasus ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum. Kami menilai Kejaksaan Negeri Ogan Ilir gagal menunjukkan komitmen terhadap prinsip keadilan dan kesetaraan di mata hukum", kata Muhammad Suparjo SM, Koordinator FGMI kepada awak media (20/05/2025). 

"Dengan keterlibatan pejabat strategis dalam struktur PMI, potensi intervensi kekuasaan sangat besar dan memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di daerah", sambungnya.

Melihat situasi ini, FGMI mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan. Baik melalui supervisi intensif maupun pengambilalihan
penuh sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10A Undang-Undang KPK. Keterlibatan KPK sangat penting agar kasus ini tidak berakhir tanpa kejelasan, serta bebas dari intervensi politik lokal.

"Kami tidak ingin kasus ini menguap hanya karena pihak yang diduga terlibat berada di lingkar kekuasaan, Tidak boleh ada impunitas, siapapun orangnya. Jika ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di daerah.” tegas Suparjo.

FGMI menilai dugaan korupsi dana hibah ini adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh PMI.

"Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, khususnya generasi muda, untuk turut mengawal proses hukum kasus ini serta memastikan KPK hadir sebagai penjaga independensi dan integritas hukum di Indonesia", tutupnya.

Minggu, 19 Januari 2025

KPK didesak Terbitkan Sprindik untuk Dominggus Mandacan




Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Provinsi Papua Barat menunjukkan hasil yang sangat buruk di bawah kepemimpinan Dominggus Mandacan. Berbagai faktor menjadi pemicu tingginya tingkat korupsi di wilayah tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Masyarakat Cinta Birokrat Babas Korupsi, Charles Simbolon, dalam konferensi pers di Jakarta pada 20 Januari 2025.


Dalam pemaparannya, Charles menyebutkan beberapa indikasi yang memperburuk keadaan di Papua Barat, di antaranya:

1. Penyalahgunaan Aset Pemerintah

Banyak aset pemerintah yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

2. Rendahnya Integritas Aparatur Sipil Negara (ASN)

Kinerja dan integritas ASN sering dipertanyakan, yang berdampak pada pelayanan publik yang tidak optimal.

3. Proses Seleksi Pejabat yang Sarat Kepentingan Politik

Seleksi pejabat di Papua Barat sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, yang mengabaikan kompetensi dan profesionalisme.

4. Pengaturan dalam Penentuan Pemenang Tender

Praktik korupsi dalam menentukan pemenang tender proyek pemerintah menjadi salah satu masalah serius.

5. Penunjukan Pejabat di Pemerintahan

Penunjukan pejabat sering kali tidak transparan dan lebih didasarkan pada kedekatan politik daripada kualifikasi atau kompetensi.


Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Charles mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil langkah hukum guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan transparan di Papua Barat. 

Ia menyarankan agar KPK menggunakan kasus suap yang melibatkan mantan anggota KPU Pusat, Wahyu Setiawan, sebagai pintu masuk untuk menegakkan hukum di wilayah ini.


"Jika KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk Sekjen PDIP, maka seharusnya KPK juga mampu menerbitkan Sprindik untuk Dominggus Mandacan. Apalagi, dalam persidangan Wahyu Setiawan, telah terungkap dengan jelas bahwa ia menerima suap dari Dominggus Mandacan untuk meloloskan calon anggota KPU Papua Barat," ungkap Charles.


Menurutnya, langkah tegas KPK sangat diperlukan untuk menghentikan praktik korupsi yang semakin mengakar di Papua Barat. Tanpa tindakan konkret, korupsi di provinsi ini akan terus berkembang, merugikan masyarakat, dan menghambat pembangunan daerah. *(red)


Selasa, 14 Januari 2025

Tokoh Pemuda Papua Barat: Stop Framing Dominggus Mandacan Terlibat Suap


Maraknya pemberitaan media daring terkait keterlibatan Gubernur Papua Barat terpilih, Dominggus Mandacan, dalam kasus suap mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Salah satu tanggapan datang dari Tokoh Pemuda Papua Barat, Buing Karetji. Dalam pernyataannya, Karetji menegaskan bahwa Dominggus Mandacan hanya memfasilitasi kebutuhan masyarakat Papua Barat dan tidak terlibat secara langsung dalam inisiatif suap yang diberikan kepada Wahyu Setiawan.

Menurut Karetji, dana sebesar Rp 500 juta yang diberikan kepada mantan anggota KPU RI Wahyu Setiawan merupakan inisiatif pribadi dari Sekretaris KPU Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo, dan bukan dari Dominggus Mandacan. Dana tersebut bersumber dari Pemerintah Provinsi Papua Barat dan dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah antara tim seleksi anggota KPU Papua Barat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan politik pribadi Dominggus.

"Jika uang tersebut dianggap sebagai suap terhadap penyelenggara pemilu, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah Bapak Payapo, karena itu merupakan permintaan dan inisiatif beliau sendiri," ujar Karetji.

Ia juga menegaskan bahwa sangat tidak masuk akal jika Dominggus Mandacan memiliki kepentingan pribadi dalam proses seleksi calon KPU Papua Barat, karena hal itu merupakan urusan internal kelembagaan KPU.

Karetji menekankan pentingnya memfokuskan penyelidikan pada pihak yang benar-benar bertanggung jawab, yakni Sekretaris KPU Papua Barat pada saat itu, demi menjaga keadilan dan transparansi. Ia berharap agar tidak ada lagi framing isu yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, yang dapat merugikan nama baik dan integritas Dominggus Mandacan.

"Dominggus Mandacan memberikan uang kepada Wahyu Setiawan atas permintaan Sekretaris KPU Papua Barat. Uang itu bukan atas nama pribadi Dominggus Mandacan, tetapi merupakan bantuan dari Pemprov Papua Barat untuk menyelesaikan masalah antara tim seleksi anggota KPU Papua Barat dan masyarakat. Tidak ada sedikitpun niat Dominggus Mandacan untuk menyuap demi kepentingan politik pribadi," tambah Karetji.

Karetji menegaskan kembali bahwa inisiatif suap tersebut datang dari Sekretaris KPU Papua Barat, bukan dari Dominggus Mandacan, yang hanya diminta membantu sebagai Gubernur Papua Barat dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, bukan sebagai individu. Pungkasnya.(*dp)

MCBBK Optimis KPK segera tetapkan Dominggus Mandacan Sebagi Tersangka


Charles Simbolon, Koordinator Masyarakat Cinta Birokrat Bebas Korupsi (MCBBK), menyatakan keyakinannya bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera memproses hukum terhadap Dominggus Mandacan. Ia mempertanyakan integritas penyelenggaraan Pemilukada Papua Barat 2025, yang hanya diikuti oleh calon tunggal, yakni petahana Dominggus Mandacan.

Simbolon menyoroti pengakuan dalam persidangan kasus suap terhadap mantan anggota KPU Pusat, Wahyu Setiawan, bahwa Dominggus Mandacan diduga memberikan uang sebesar Rp 500 juta melalui Sekretaris KPU Papua Barat. Uang tersebut diduga digunakan untuk memuluskan proses seleksi anggota KPU Papua Barat periode 2020-2025, yang dinilai memiliki afiliasi dengan Dominggus Mandacan.

Ia menyatakan kekhawatirannya bahwa komisioner yang terpilih melalui proses suap tidak akan mampu menyelenggarakan pemilu yang bersih dan berintegritas, yang menjadi perhatian serius bagi masyarakat Papua Barat dan Indonesia pada umumnya.

"Bagaimana mungkin anggota komisioner yang ditetapkan dari hasil suap dapat menyelenggarakan pemilu bersih dan berintegritas? Tentu ini menjadi kekhawatiran publik tanah air, khususnya masyarakat Papua Barat sendiri," ujarnya.

Charles Simbolon menambahkan, "Kita apresiasi keseriusan KPK dalam menuntaskan kasus suap terhadap Wahyu Setiawan. Namun, tantangan KPK belum berakhir, terutama dalam kasus yang melibatkan Dominggus Mandacan. Kapan pihak KPK akan menetapkan sebagai tersangka? Sebab, selain sudah sejak lama kasus ini menjadi atensi publik, dalam materi dakwaan penuntut umum sudah terang tentang indikasi keterlibatan Dominggus Mandacan dalam penetapan seleksi Anggota KPU Papua Barat Periode 2020-2025. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Kita optimis KPK bisa melakukannya," tegasnya.

Simbolon menekankan pentingnya KPK untuk segera menetapkan Dominggus Mandacan sebagai tersangka, mengingat kasus ini telah lama menjadi perhatian publik dan indikasi keterlibatan Dominggus dalam seleksi anggota KPU Papua Barat sudah jelas dalam materi dakwaan penuntut umum. "Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan kami optimis KPK bisa melakukannya," pungkasnya.(*red)

Rabu, 21 Agustus 2024

Hakim Tolak Eksepsi 3 Terdakwa Korupsi KONI Sungai Penuh 4 Milyar Rupiah


HUKUM,- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi menolak Eksepsi atau putusan sela yang diajukan oleh Penasihat Hukum tiga terdakwa kasus korupsi pengelolaan dana hibah KONI Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi tahun anggaran 2023 sebesar Rp 4 Milyar.

Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Sungai Penuh Jasa Alex P. Hutauruk, dikonfirmasi Gegeronline Rabu (21/08/2024) membenarkan, bahwa Majelis menolak Eksepsi yang diajukan oleh Tim Penasehat Hukum tiga terdakwa.

“Iya, majelis hakim menolak Eksepsi tiga terdakwa kasus korupsi dana hibah KONI Kota Sungai Penuh” ujar Alex.

Ia menambahkan, Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melanjutkan persidangan. “Iya, Benar, sidang akan dilanjutkan Senin depan,” tambah Alex.

“Mengadili, menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum terdakwa tidak diterima, sebut Ketua Majelis Hakim Yofistian saat membacakan putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jambi, Senin (19/08/2024)

Majelis hakim, memerintahkan penuntut umum Kejaksaan Negeri Sungai penuh untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama Khairi, Ketua KONI Sungai Penuh; Triko Marfendri, Bendahara KONI Sungai Penuh; dan Khusaeri, General Manager Hotel Golden Harvest Jambi

Atas perbuatan terdakwa Khairi, bersama-sama dengan Benni Zekmana, Triko Marfendi selaku Pengurus KONI Kota Sungai Penuh dan terdakwa Khusaeri Seger terhadap pengelolaan dana Hibah KONI Kota Sungai Penuh tahun anggaran 2023 Rp 4 Milyar yang menyebabkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 849.921.000.

Jumlah kerugian keuangan Negara itu berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) atas penyimpangan dana hibah KONI Kota Sungai Penuh tahun anggaran 2023 dari Inspektorat Provinsi Jambi, tanggal 01 April 202

Sidang diketuai oleh Yofistian, didampingi hakim anggota Lamhot Nainggolan dan Yoanna Nilakresna.


Sumber : Gegeronline.co.id

Selasa, 20 Agustus 2024

Mahkamah Konstitusi Turunkan Ambang Batas Syarat Pencalonan, Peta Politik Berubah


JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Ketua MK Suhartoyo yang membacakan Amar Putusan tersebut menyampaikan Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

  1. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
  2. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
  3. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
  4. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

  1. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
  2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  3. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  4. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.

“Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.

Sementara, dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan norma yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 39 huruf a UU 8/2015 yang menyatakan, "Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik". Dalam konteks ini, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dapat dikatakan sebagai desain pengaturan ambang batas (threshold) untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan model alternatif. Pertama, apakah dapat memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD. Atau, kedua, apakah dapat memenuhi 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

“Kedua pilihan threshold pencalonan kepala daerah tersebut ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menentukan pilihan mana yang dapat dipenuhi,” ujar Enny.

Berkenaan dengan alternatif pertama, Enny melanjutkan, ditentukan lebih lanjut persyaratannya dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada yang pada pokoknya hanya untuk memberikan kepastian terkait dengan cara penghitungan pecahan persentase dari jumlah kursi DPRD paling sedikit 20%. Apabila ternyata hasil bagi jumlah kursi DPRD tersebut menghasilkan angka pecahan, maka untuk kepastian perolehan jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.

Sementara itu, lanjut Enny, terhadap norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada juga menjelaskan lebih lanjut alternatif pencalonan kepala daerah apabila akan digunakan 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, namun tidak menegaskan apabila ternyata hasil bagi suara sah tersebut menghasilkan angka pecahan sebagaimana pola yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada. Dalam kaitan ini, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 justru memberikan ketentuan tambahan yaitu, akumulasi perolehan suara sah tersebut “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD” sebagaimana dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon karena tidak sejalan dengan maksud kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

“Artinya, baik menggunakan alternatif pertama atau kedua dipersyaratkan oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 harus sama-sama mempunyai kursi di DPRD. Ketentuan ini merugikan hak partai politik yang telah ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu serentak nasional 2024 yang telah memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD, karena tidak dapat mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” jelas Enny.

Jamin Hak Konstitusional Parpol

Dikatakan Enny, bertolak pada pertimbangan hukum di atas apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, menurut Mahkamah kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25%. Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU Pilkada, maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup.

Sebab, lanjut Enny, pasal tersebut telah menegasikan norma yang telah memberikan alternatif, in casu Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Batasan 25% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 adalah akumulasi perolehan suara karena partai politik tetap diakui keabsahannya dan diakui eksistensinya sebagai partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, sampai Pemilu berikutnya sesuai dengan threshold dan persyaratan yang akan ditentukan ke depan oleh pembentuk undang-undang.

“Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon,” tegas Enny.

Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.

 

 “Dalam konteks demikian, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,” ucap Enny.

Oleh karena itu, lanjut Enny, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.

Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

“Yang pada pokoknya yang concurring berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat sementara yang dissenting terhadap norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional dan seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon,” ujar Suhartoyo.

Sebelumnya para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada telah menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, meskipun sebenarnya parpol—termasuk Para Pemohon—telah mendapatkan perolehan suara sah dalam Pemilu DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Terhalangnya hak para Pemohon untuk mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Selain itu, Pemohon mendalilkan terdapat perbedaan antara “perolehan suara sah” dengan “perolehan jumlah kursi” sebagaimana uraian Pasal 40 UU 10/2016 di atas. Ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tersebut mengabaikan perolehan suara dalam pemilihan umum⎯dalam hal ini DPRD⎯yang telah mendapatkan legitimasi suara rakyat. Sedangkan perolehan jumlah kursi di DPRD itu dikarenakan berlakunya mekanisme/metode tertentu untuk menghitung konversi perolehan suara menjadi kursi DPRD, hal ini tidak selalu mutlak berhubungan dengan legitimasi suara rakyat.(*)

Sumber : MKRI.ID

Ads 970x90