Tampilkan postingan dengan label HUKUM & KRIMINAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM & KRIMINAL. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Juni 2025

Dugaan Anggaran Mamin Fiktif di Setda Papua Barat: LPI-ASN Desak Kejagung Lakukan Penyelidikan


 JAKARTA, 20 Juni 2025 – Kejaksaan Agung (Kejagung) hari ini secara resmi menerima laporan dugaan tindak pidana korupsi senilai Rp11.356.479.783,00. Angka ini terkait dengan anggaran Belanja Makanan dan Minuman (Mamin) pada Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat untuk Tahun Anggaran 2023.

Laporan tersebut disampaikan oleh Lembaga Pemantau Integritas Aparatur Sipil Negara (LPI-ASN), yang secara tegas mendesak Kejagung untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh dan tuntas.


EP Diansyah, Koordinator LPI-ASN, menjelaskan bahwa indikasi kuat adanya korupsi ini terungkap dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. LHP tersebut menunjukkan adanya kejanggalan berupa kelebihan pembayaran dan penggunaan bukti pertanggungjawaban yang diduga fiktif. 


"Dokumen pertanggungjawaban dibuat belakangan hanya berdasarkan nota kosong," ungkap Diansyah.


Ia menambahkan, investigasi awal LPI-ASN menemukan bahwa dana yang seharusnya dialokasikan untuk makanan dan minuman justru diakui untuk 'kebutuhan lain' tanpa adanya bukti-bukti sah yang mendukung penggunaan anggaran tersebut.


Praktik ini diduga melibatkan serangkaian kelalaian dan penyalahgunaan wewenang oleh beberapa pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat. Pihak-pihak yang disebut-sebut terlibat mencakup Bendahara Pengeluaran, Kepala Bagian Keuangan (selaku Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Perangkat Daerah atau PPK SKPD), hingga Sekretaris Daerah yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran.


Perbuatan ini diyakini kuat melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, karena secara jelas menyebabkan kerugian keuangan negara dan adanya penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan.


Pasal 2 UU Tipikor mengacu pada perbuatan melawan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 


Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


LPI-ASN mendesak Jaksa Agung untuk secepat mungkin mengambil langkah konkret, termasuk memanggil semua pihak terkait untuk dimintai keterangan, serta mengupayakan pemulihan kerugian keuangan negara secara maksimal.


"Transparansi dan akuntabilitas anggaran adalah mutlak dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dilingkungan Pemerintahan Papua Barat," pungkas Diansyah, menekankan pentingnya penegakan hukum dalam kasus ini. (GM) 

Rabu, 11 Juni 2025

KMPK Desak KPK Selidiki Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bansos TA 2020 di Pegunungan Arfak


JAKARTA, 11 Juni 2025 – Koalisi Masyarakat Penegak Keadilan (KMPK) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyelidiki dugaan korupsi pengelolaan Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak Tahun Anggaran (TA) 2020. KMPK menemukan indikasi kuat penyimpangan sistematis yang berpotensi merugikan negara hingga lebih dari Rp22 miliar.

Koordinator KMPK, Paulinus Siregar, menyatakan keprihatinannya atas temuan ini.


"Kami menduga telah terjadi pola korupsi yang terstruktur, di mana dana hibah dan bansos yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat justru raib tanpa pertanggungjawaban yang jelas," tegasnya dalam konferensi pers.


Dugaan penyimpangan ini terungkap dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Kabupaten Pegunungan Arfak TA 2020 (audited), yang menunjukkan lonjakan fantastis pada alokasi anggaran dan berbagai kejanggalan dalam pelaksanaannya.


KMPK menemukan beberapa kejanggalan utama:


A. Lonjakan Anggaran Mencurigakan dan Rekomendasi BPK yang Diabaikan: Anggaran hibah melonjak 397% pada TA 2020, dari Rp14,7 miliar menjadi Rp73,05 miliar. Belanja bansos juga naik 56%, dari Rp35,88 miliar menjadi Rp56,06 miliar. Paulinus menyoroti bahwa kenaikan ini patut dipertanyakan, apalagi masalah pengelolaan dana ini sudah menjadi sorotan BPK sejak LHP BPK Nomor 27.A/LHP.XIX.MAN/06/2020 tanggal 29 Juni 2020. Rekomendasi BPK tahun 2018 terkait penertiban dan akuntabilitas belum sepenuhnya ditindaklanjuti.


B. Verifikasi Penerima Tidak Memadai dan Dana Mengalir ke Pihak Tak Bertanggung Jawab: Penetapan penerima hibah dan bansos hanya berdasarkan disposisi Bupati tanpa verifikasi kelayakan yang memadai. Bahkan, Rp1,859 miliar dana hibah diduga mengalir ke penerima yang belum mempertanggungjawabkan dana pada tahun anggaran sebelumnya. "Ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP serta Permendagri Nomor 32 Tahun 2011," ujar Paulinus.


C. Penyaluran Dana Tanpa Dasar Hukum dan Melalui Bendahara: Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak diduga menyalurkan dana hibah dan bansos tanpa Peraturan Kepala Daerah terkait Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial serta Keputusan Bupati tentang Penerima Hibah dan Bantuan Sosial. Mekanisme pencairan juga tidak langsung kepada penerima, melainkan melalui bendahara bantuan sosial.


"Modus ini sangat rentan terhadap penyelewengan," papar Paulinus, menyoroti pelanggaran Pasal 102 PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Pasal 14 serta Pasal 32 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011.


Puluhan Miliar Rupiah Dana APBD Diduga Raib. Temuan KMPK menunjukkan total Rp22.116.000.000,00 dana publik diduga bermasalah, terdiri dari:

  • a. Rp11.507.000.000,00 Belanja Bantuan Sosial yang belum dipertanggungjawabkan.
  • b. Rp8.750.000.000,00 Belanja Hibah yang belum dipertanggungjawabkan.
  • c. Rp1.859.000.000,00 Hibah yang disalurkan kepada penerima yang belum mempertanggungjawabkan dana di periode sebelumnya.


"Angka ini sangat fantastis. Bagaimana kita bisa menguji penggunaan dana sebesar itu jika laporan pertanggungjawabannya tidak ada dan ada dana yang mengalir ke pihak yang tidak patuh? Ini mengindikasikan adanya kerugian keuangan negara yang sangat besar," seru Paulinus.


Ia menambahkan, kelemahan monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak menunjukkan kelalaian serius dalam pengawasan penggunaan dana rakyat.


Tuntutan KMPK kepada KPK

KMPK mendesak KPK untuk:


  1. Segera memulai penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak TA 2020.
  2. Memanggil dan memeriksa Mantan Bupati Pegunungan Arfak Tahun 2020, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Keuangan, Bendahara Hibah/Bansos, serta seluruh pihak terkait, termasuk penerima dana yang belum mempertanggungjawabkan alokasinya.
  3. Menindak tegas semua pihak yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ini bukan hanya sekadar maladministrasi, tetapi dugaan tindak pidana korupsi yang sistematis dan merugikan rakyat Pegunungan Arfak. Dalam waktu dekat, kami akan mendatangi Gedung Merah Putih untuk secara langsung melaporkan kepada pimpinan KPK. KPK harus turun tangan segera untuk menyelamatkan keuangan negara dan memberikan keadilan bagi masyarakat," tutup Paulinus.

Minggu, 20 April 2025

FGMI Desak KPK Ambil Alih Penanganan Dugaan Korupsi Dana Hibah PMI Ogan Ilir


Jakarta, 20 April 2025 – Forum Generasi Milenial Indonesia (FGMI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas lambatnya penanganan dugaan korupsi dana hibah Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Ogan Ilir yang menyeret nama istri Bupati Ogan Ilir, Tikha Alamsjah Panca. Proses hukum yang ditangani Kejaksaan Negeri Ogan Ilir dinilai berjalan tanpa progres signifikan dan menimbulkan kesan diskriminatif.

FGMI juga menyoroti adanya anasir kuat yang mengindikasikan potensi mandeknya proses hukum di tengah jalan. Kekhawatiran ini muncul mengingat posisi strategis Ketua PMI Ogan Ilir dijabat oleh Tikha Alamsjah Panca yang merupakan istri Bupati Ogan Ilir, Wakil Ketua dijabat oleh Asisten I Setda Ogan Ilir, Dicky Shailendra, Bendahara dijabat oleh Kepala BPKAD Ogan Ilir, Sholahuddin, dan Sekretaris dijabat oleh Sayadi, yang merupakan Kepala Dinas Pendidikan Ogan Ilir. 

Struktur organisasi PMI Ogan Ilir yang melibatkan pejabat-pejabat kunci di pemerintahan daerah memperkuat dugaan adanya konflik kepentingan dan potensi intervensi kekuasaan dalam penegakan hukum.

Pada tahun anggaran 2023–2024, Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 2 Miliar kepada PMI Kabupaten Ogan Ilir.
Berdasarkan temuan dan pemeriksaan Kejaksaan, muncul dugaan kuat bahwa dana hibah tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya. Bahkan, terdapat indikasi serius penggunaan SPJ (Surat Pertanggungjawaban) fiktif dalam laporan keuangan dana hibah tersebut.

Sejumlah pihak internal PMI, termasuk Sayadi, Sholahuddin, dan Dicky Shailendra, telah dipanggil dan diperiksa berulang kali oleh penyidik Kejaksaan Negeri Ogan Ilir. Sementara itu, Tikha Alamsjah selaku Ketua PMI memang telah dipanggil, namun belum memenuhi panggilan dengan alasan sibuk mendampingi Bupati. Ketidakhadirannya memunculkan pertanyaan besar dan memperkuat dugaan bahwa proses hukum tengah terhambat oleh kekuatan politik yang melindungi pihak-pihak tertentu.

"Lambatnya penanganan kasus ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum. Kami menilai Kejaksaan Negeri Ogan Ilir gagal menunjukkan komitmen terhadap prinsip keadilan dan kesetaraan di mata hukum", kata Muhammad Suparjo SM, Koordinator FGMI kepada awak media (20/05/2025). 

"Dengan keterlibatan pejabat strategis dalam struktur PMI, potensi intervensi kekuasaan sangat besar dan memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di daerah", sambungnya.

Melihat situasi ini, FGMI mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan. Baik melalui supervisi intensif maupun pengambilalihan
penuh sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10A Undang-Undang KPK. Keterlibatan KPK sangat penting agar kasus ini tidak berakhir tanpa kejelasan, serta bebas dari intervensi politik lokal.

"Kami tidak ingin kasus ini menguap hanya karena pihak yang diduga terlibat berada di lingkar kekuasaan, Tidak boleh ada impunitas, siapapun orangnya. Jika ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di daerah.” tegas Suparjo.

FGMI menilai dugaan korupsi dana hibah ini adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh PMI.

"Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, khususnya generasi muda, untuk turut mengawal proses hukum kasus ini serta memastikan KPK hadir sebagai penjaga independensi dan integritas hukum di Indonesia", tutupnya.

Minggu, 19 Januari 2025

KPK didesak Terbitkan Sprindik untuk Dominggus Mandacan




Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Provinsi Papua Barat menunjukkan hasil yang sangat buruk di bawah kepemimpinan Dominggus Mandacan. Berbagai faktor menjadi pemicu tingginya tingkat korupsi di wilayah tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Masyarakat Cinta Birokrat Babas Korupsi, Charles Simbolon, dalam konferensi pers di Jakarta pada 20 Januari 2025.


Dalam pemaparannya, Charles menyebutkan beberapa indikasi yang memperburuk keadaan di Papua Barat, di antaranya:

1. Penyalahgunaan Aset Pemerintah

Banyak aset pemerintah yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

2. Rendahnya Integritas Aparatur Sipil Negara (ASN)

Kinerja dan integritas ASN sering dipertanyakan, yang berdampak pada pelayanan publik yang tidak optimal.

3. Proses Seleksi Pejabat yang Sarat Kepentingan Politik

Seleksi pejabat di Papua Barat sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, yang mengabaikan kompetensi dan profesionalisme.

4. Pengaturan dalam Penentuan Pemenang Tender

Praktik korupsi dalam menentukan pemenang tender proyek pemerintah menjadi salah satu masalah serius.

5. Penunjukan Pejabat di Pemerintahan

Penunjukan pejabat sering kali tidak transparan dan lebih didasarkan pada kedekatan politik daripada kualifikasi atau kompetensi.


Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Charles mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil langkah hukum guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan transparan di Papua Barat. 

Ia menyarankan agar KPK menggunakan kasus suap yang melibatkan mantan anggota KPU Pusat, Wahyu Setiawan, sebagai pintu masuk untuk menegakkan hukum di wilayah ini.


"Jika KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk Sekjen PDIP, maka seharusnya KPK juga mampu menerbitkan Sprindik untuk Dominggus Mandacan. Apalagi, dalam persidangan Wahyu Setiawan, telah terungkap dengan jelas bahwa ia menerima suap dari Dominggus Mandacan untuk meloloskan calon anggota KPU Papua Barat," ungkap Charles.


Menurutnya, langkah tegas KPK sangat diperlukan untuk menghentikan praktik korupsi yang semakin mengakar di Papua Barat. Tanpa tindakan konkret, korupsi di provinsi ini akan terus berkembang, merugikan masyarakat, dan menghambat pembangunan daerah. *(red)


Selasa, 14 Januari 2025

Tokoh Pemuda Papua Barat: Stop Framing Dominggus Mandacan Terlibat Suap


Maraknya pemberitaan media daring terkait keterlibatan Gubernur Papua Barat terpilih, Dominggus Mandacan, dalam kasus suap mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Salah satu tanggapan datang dari Tokoh Pemuda Papua Barat, Buing Karetji. Dalam pernyataannya, Karetji menegaskan bahwa Dominggus Mandacan hanya memfasilitasi kebutuhan masyarakat Papua Barat dan tidak terlibat secara langsung dalam inisiatif suap yang diberikan kepada Wahyu Setiawan.

Menurut Karetji, dana sebesar Rp 500 juta yang diberikan kepada mantan anggota KPU RI Wahyu Setiawan merupakan inisiatif pribadi dari Sekretaris KPU Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo, dan bukan dari Dominggus Mandacan. Dana tersebut bersumber dari Pemerintah Provinsi Papua Barat dan dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah antara tim seleksi anggota KPU Papua Barat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan politik pribadi Dominggus.

"Jika uang tersebut dianggap sebagai suap terhadap penyelenggara pemilu, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah Bapak Payapo, karena itu merupakan permintaan dan inisiatif beliau sendiri," ujar Karetji.

Ia juga menegaskan bahwa sangat tidak masuk akal jika Dominggus Mandacan memiliki kepentingan pribadi dalam proses seleksi calon KPU Papua Barat, karena hal itu merupakan urusan internal kelembagaan KPU.

Karetji menekankan pentingnya memfokuskan penyelidikan pada pihak yang benar-benar bertanggung jawab, yakni Sekretaris KPU Papua Barat pada saat itu, demi menjaga keadilan dan transparansi. Ia berharap agar tidak ada lagi framing isu yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, yang dapat merugikan nama baik dan integritas Dominggus Mandacan.

"Dominggus Mandacan memberikan uang kepada Wahyu Setiawan atas permintaan Sekretaris KPU Papua Barat. Uang itu bukan atas nama pribadi Dominggus Mandacan, tetapi merupakan bantuan dari Pemprov Papua Barat untuk menyelesaikan masalah antara tim seleksi anggota KPU Papua Barat dan masyarakat. Tidak ada sedikitpun niat Dominggus Mandacan untuk menyuap demi kepentingan politik pribadi," tambah Karetji.

Karetji menegaskan kembali bahwa inisiatif suap tersebut datang dari Sekretaris KPU Papua Barat, bukan dari Dominggus Mandacan, yang hanya diminta membantu sebagai Gubernur Papua Barat dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, bukan sebagai individu. Pungkasnya.(*dp)

Ads 970x90